hai sahabat blakom!
Pada Desember 2021 lalu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengumumkan tengah melakukan kajian mendalam terkait rencana penghapusan sinyal 3G di seluruh Indonesia. Tak berselang lama, tepatnya pada Januari 2022, Telkomsel juga mengumumkan akan melakukan migrasi seluruh layanan jaringan 3G ke jaringan 4G LTE, mulai tahun 2022 ini.
Dengan migrasi ini, Telkomsel pada akhirnya
bakal mematikan sinyal 3G miliknya. Padahal di Indonesia sendiri, jaringan 3G
masih menjadi andalan bagi sebagian orang untuk mengakses internet di ponsel.
Lantas, mengapa sinyal 3G di Indonesia mau dimatikan?
Juru bicara (Jubir)
Kominfo Dedy Permadi serta dua pengamat telekomunikasi, yaitu Moch S.
Hendrowijono dan Ian Yosef M. Edward pun buka-bukaan soal alasan di balik rencana
penghapusan sinyal 3G di Indonesia tersebut.
Teknologi 3G sudah lawas
Menurut Dedy, alasan utama
sinyal 3G di Indonesia harus dimatikan adalah agar operator seluler dapat
memberikan layanan broadband seluler dan digital yang lebih baik ke pelanggan,
yaitu menggunakan jaringan 4G LTE, bukan lagi teknologi lawas seperti 3G.
"Sebab jaringan 3G masih memiliki kendala berupa kecepatan yang kurang
maksimal, ketidakstabilan sinyal, dan kapasitas layanan yang kurang
memadai," kata Dedy melalui pesan singkat kepada KompasTekno. Bahkan
pengamat telekomunikasi Moch S.
Hendrowijono mengatakan
bahwa penghapusan jaringan 3G di Indonesia seharusnya sudah dilakukan lebih
awal, yaitu semenjak beberapa tahun lalu. "Alasan penghapusan 3G,
teknologinya mentok di kemampuan/kapasitas rendah, hanya sekitaran 2 Mbps.
Selain itu, 3G juga sudah jadi bagian dari evolusi akses semua operator
dunia," kata kata pria yang akrab disapa Hendro itu kepada KompasTekno.
Jadi, bukan hal baru bila
ada rencana penghapusan sinyal 3G ini. Hendro mencontohkan, negara tetangga
seperti Singapura sudah mematikan jaringan lawas 2G semenjak tiga tahun lalu,
kemudian disusul dengan penghapusan jaringan 3G. Memang, dari segi kecepatan,
secara teknis, jaringan 3G hanya memiliki kecepatan rata-rata 2 Mbps dan
kecepatan maksimum hingga 14 Mbps saja. Berbeda dengan jaringan 4G yang secara
teknis mampu menghasilkan kecepatan unduh lebih cepat, yakni antara 10 Mbps
hingga 1 Gbps.
Selain itu, jaringan seluler generasi keempat ini
turut menawarkan latensi yang lebih baik ketimbang 3G. Hal ini ditandai dengan
sedikitnya proses buffering, peningkatan pada kualitas suara, serta kualitas
streaming dan kecepatan unduh yang lebih cepat ketika mengakses internet dengan
sinyal 4G. Teknologi 4G juga dikenal sebagai jaringan seluler berbasis IP
pertama di dunia, yang mampu mengakomodasi Quality of Service (QoS) serta akses
broadband nirkabel pada Multimedia Messaging Service (MMS), percakapan video,
TV seluler, konten HDTV, hingga Penyiaran Video Digital (DVB).
3G membebani jaringan Selain teknologinya lawas,
jaringan 3G juga disebut membebani jaringan. Setidaknya begitulah menurut
Hendro. "Layanan 3G memakan bandwith yang lebih besar untuk besaran
kapasitas yang sama dengan 4G, sehingga secara teknis dia membebani
jaringan," kata Hendro. Selama ini, jaringan 3G dan 4G di Indonesia memang
menempati spektrum frekuensi yang sama, yaitu 900 MHz, 1.800 MHz, dan 2.100
GHz.
Masing-masing operator
memiliki lebar pita (bandwidth) yang berbeda-beda pada frekuensi tersebut untuk
menggelar layanan 3G sekaligus 4G. Makanya, menurut Hendro, operator seluler
akan lebih untung, efisien, dan optimal bila menggunakan bandwidth yang semula
untuk layanan 3G, dialihkan untuk 4G. "(Bila itu terjadi) layanan 4G
secara teoritis akan bisa lebih cepat bagi pelanggan 4G," kata Hendro.
Alokasi frekuensi untuk 4G
Dedy juga mengungkapkan,
saat ini, kebutuhan jaringan broadband di Indonesia sudah sangat tinggi.
Sehingga memerlukan pengembangan teknologi jaringan generasi selanjutnya,
seperti 4G maupun 5G yang lebih cepat. Untuk mengakomodasi tingginya kebutuhan
jaringan broadband sekaligus memberikan layanan internet seluler yang lebih
baik, maka layanan internet seluler yang menggunakan teknologi 3G di Indonesia
agaknya perlu dimatikan.
"Penghentian layanan
seluler berbasis teknologi 3G dapat mendorong operator seluler memanfaatkan
alokasi frekuensi 3G, untuk memaksimalkan kapasitas bandwidth yang ada (untuk
layanan 4G)," kata Dedy. Dengan kata lain, alokasi frekuensi yang selama
ini digunakan untuk menggelar 3G sekaligus 4G, akan sepenuhnya digunakan untuk
layanan 4G saja. Dengan begitu, kata Dedy, masyarakat mendapatkan layanan
teknologi 4G yang lebih berkualitas dan sesuai dengan kebutuhannya yang tinggi
saat ini.
Jumlah pelanggan 3G menurun
Menurut Dedy, hal lain
yang menjadi pertimbangan pemerintah untuk mengaji penghapusan sinyal 3G di
Indonesia adalah jumlah pelanggan 3G yang disebut semakin hari semakin menurun.
Meski begitu, Dedy tidak memberikan data soal jumlah pelanggan seluler
Indonesia yang masih setiap menggunakan kartu SIM 3G alias belum upgrade ke
kartu SIM 4G di Indonesia. Pelanggan kategori ini juga sering disebut sebagai
pelanggan 3G-only.
Beberapa data pelanggan
3G-only di Indonesia kepada masing-masing operator seluler, seperti Telkomsel,
Indosat Ooredoo Hutchison (perusahaan hasil merger Indosat Ooredoo-Tri), dan XL
Axiata. Namun, hasilnya nihil. KompasTekno tidak menanyakan soal jumlah
pelanggan kepada Smartfren, karena operator ini sudah mematikan layanan 3G
miliknya sejak 2017 lalu.
Meski tak ada data yang
menyebutkan secara spesifik berapa jumlahnya, bukan berarti pelanggan 3G-only
sudah tidak ada lagi di Indonesia. Pasalnya, menurut riset OpenSignal yang
dipublikasi pada Juni 2021 lalu, sejumlah masyarakat masih mengandalkan
jaringan 3G dan belum pernah terhubung ke jaringan 4G.
Tanpa menyebutkan
jumlahnya, OpenSignal mengungkapkan ada tiga alasan utama yang menyababkan
sebagian masyarakat Indonesia masih bergantung pada 3G.
Pertama, sebanyak 67,5 persen pengguna 3G-only tidak punya langganan 4G alias
belum upgrade dari kartu SIM 3G ke 4G. Padahal ponsel mereka sudah mendukung
konektivitas 4G. Alasan pengguna belum upgrade dari 3G ke 4G kemungkinan karena
mereka mungkin tidak menyadari manfaat 4G atau mungkin telah menonaktifkan
koneksi 4G di ponsel mereka.
Kedua, sebanyak 16,8 persen pengguna 3G-only tidak punya perangkat yang
mendukung jaringan 4G. Faktornya antara lain karena penghasilan yang rendah,
keterbatasan keterampilan digital, dan kurangnya kesadaran terkait perbedaan
perangkat 3G dan 4G.
Ketiga, sebanyak 15,8 persen pengguna 3G-only belum terjangkau oleh sinyal 4G.
0 Komentar